* Diambil dari berbagai sumber
* Dari Jurnal maupun blog lain
* Terimakasih :)
TIM DVI
Pernah
kan mendengar DVI? DVI adalah singkatan dari Disaster Victim Identification.
DVI akan ekerja saat ada major insident yang tentunya menimbukan banyak korban
jiwa. Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli
anthropology (ilmu yang mempelajari tulang),kepolisian, fotografi, dan ada yang
berasal dari masyarakat juga. Tugasnya adalah mengidentifikasi korban.
Jika
terjadi major insident (musibah massal) di suatu wilayah dengan korban jiwa,
misalnya korban wedhus gembel, tim DVI akan meluncur ke lokasi, kemudian yang
dilakukan adalah:
1. The scene of insident atau mengusut sebab musabab kematian seseorang tersebut. Daerah yang menjadi fokus bencana/ insiden akan diberi police line, tujuannya adalah supaya tidak ada barang bukti yang hilang atau berubah, dan akan memudahkan olah TKP.
2. Evakuasi, memasukkan jenazah dalam kantong jenazah beserta benda-benda di sekitar jenazah.
3. Labelling, memberi label untuk tiap jenazah, misal: jenazah x ditemukan jam berapa, di daerah mana (alamat lengkap), dengan titik ordinat berapa, pokoknya sedetail-detailnya.
1. The scene of insident atau mengusut sebab musabab kematian seseorang tersebut. Daerah yang menjadi fokus bencana/ insiden akan diberi police line, tujuannya adalah supaya tidak ada barang bukti yang hilang atau berubah, dan akan memudahkan olah TKP.
2. Evakuasi, memasukkan jenazah dalam kantong jenazah beserta benda-benda di sekitar jenazah.
3. Labelling, memberi label untuk tiap jenazah, misal: jenazah x ditemukan jam berapa, di daerah mana (alamat lengkap), dengan titik ordinat berapa, pokoknya sedetail-detailnya.
Setelah itu, yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data post mortem. Data post mortem adalah data yang didapat setelah koban meninggal. Meliputi:
1.fotokomplit.
foto saat masih berada di TKP (Tempat Kejadian
Perkara), lengkap dengan dokumentasi benda-benda di sekitarnya, dan foto saat
sudah di Rumah sakit. Jangan merobek pakaian korban sembarangan (saat melepas
pakaiannya) karena akan menghilangkan bukti penting mengenai sebab kematian.
Tapi buatlah robekan dengan gunting, sehingga saat analisis dilakukan tim DVI
tahu bahwa robekan pakaian itu adalah buatan dokter. Catat dan foto semua
yang dikenakan korban. Bahan kainnya apa, warna kain apa, motif apa, kancing
warna apa, apa bentuknya, memakai asesoris apa, di tangan atau kaki mana, di
baju ada kantong berapa, isinya apa aja, pokoknya selengkap mungkin di
dokumentasikan.
2. Sidik jari. Manusia yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
3. Rontgen, akan bermanfaat ketika korban memiliki ciri khas memasang pen misalnya di tulang kakinya, sehingga akan memudahkan proses matching (proses mencocokkan)
4. Odontology forensik, atau tes karakteristik gigi. Manusia juga punya perbedaan satu dengan yang lainnya. Nah kemudian sembari dikumpulkan data post mortem, dikumpulkan pula data ante mortem (data yang didapat sebelum pasien meninggal).
Keluarga atau kerabat yang mencari keluarganya yang menjadi korban, atau yang memang akan melapor bahwa keluarganya menjadi korban, maka akan dikumpulkan informasi darinya terkait kondisi korban sebelum meninggal. Misalnya, korban memakai baju warna apa, memakai asesoris apa, jenis kelaminnya apa, usianya berapa, dsb selengkap mungkin.
Setelah
data post mortem dan ante morte dikumpulkan, maka akan dilakukan proses
matching/ mencocokkan. Apakah benar jenazah A adalah benar-benar Mr. A. Dalam
hal ini, tim DVI tidak boleh salah. Kecepatan tidak pentng. Yang penting adalah
ketepatan. Tidak jarang proses matching ini menimbulkan perdebatan sengit. Hal
ini semata-mata dilakukan supaya tidak terjadi kesalahan. Yang sulit
sesungguhnya adalah jika ada bagian tubuh yang terpisah. maka tim DVI wajib
menelusuri apakah telinga A ini benar-benar milik Mr. A.
Setelah
proses matching selesai, masing-masing tim DVI yang ikut serta dalam proses
matching harus menandatangani surat keputusan bahwa korban A dengan ciri-ciri
terlampir adalah benar Mr. A), sebagai tanda bahwa semua anggota DVI setuju
akan keputusan itu.
Kemudian, akan segera diterbitkan surat kematian untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Kemudian, akan segera diterbitkan surat kematian untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
IDENTIFIKASI
5 TAHAP DVI
Pada
prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu :
1. Initial
Action at the Disaster Site
Merupakan
tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika
suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui
seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan
komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan
sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan
kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan.
Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas
polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut
:
- Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.
- Perkiraan jumlah korban.
- Keadaan mayat.
- Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
- Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
- Metode untuk menangani mayat.
- Transportasi mayat.
- Penyimpanan mayat.
- Kerusakan properti yang terjadi.
Pada
prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga
langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk
mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah
to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah
untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah :
- Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
- Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
- Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
- Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
- Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
- Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana.
Pada langkah
to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban
yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah
documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan
kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian
memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah
ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
2. Collecting
Post Mortem Data
Pengumpulan
data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem
unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada
fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban.
Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :
- Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
- Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
- Pemeriksaan sidik jari.
- Pemeriksaan rontgen.
- Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
- Pemeriksaan DNA.
- Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data
hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data
sekunder sebagai berikut :
- PRIMER : SIDIK JARI, PROFIL GIGI, DNA.
- SECONDARY : VISUAL, FOTOGRAFI, PROPERTI JENAZAH, MEDIK-ANTROPOLOGI (TINGGI BADAN, RAS, DLL).
Selain
mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.
3. Collecting
Ante Mortem Data
Pada fase
ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan
jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup,
interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll),
rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA
orang tua maupun kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan
dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai
pakaian terakhir yang dikenakan korban.
4. Reconciliation
Pada fase
ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem.
Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah
tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi
dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan
data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
5. Returning
to the Family
Korban yang
telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik
kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak
teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan
data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah,
dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando
DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative
untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Indikator
kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan
didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih
didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di
Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui
hambatan – hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya
sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante
mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin
Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem
sering menemui kendala.
Seperti yang
kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua penduduk
Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya
sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang
lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si
pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan
pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang
masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem
juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai
organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai
untuk membayar pemeriksaan.
Hal ini
sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi
tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan
pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana
tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan
identifikasinya. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga
korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah
merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai hal – hal
yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia
merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang
baik akan sangat diperlukan di Indonesia.
ODONTOLOGI FORENSIK
Menurut Pederson,
odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari
cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan
presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb :
1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi (1:1050).
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis.
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb :
1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi (1:1050).
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis.
PERANAN DRG FORENSIK
Sebagaimana
telah diterangkan diatas, benda bukti gigi sudah sejak lama disadari mempunyai
peran yang besar dalam identifikasi personal dan pengungkapan kasus kejahatan.
Bagi para aparat penegak hukum dan pengadilan, pembuktian melalui gigi
merupakan metode yang valid dan terpercaya (reliable), sebanding dengan nilai
pembuktian sidikjari dan penentuan golongan darah.
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb :
1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum.
Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi forensik adalah latar belakang kedokteran gigi umum yang luas, meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai seorang dokter gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi spesialis untuk membantunya memecahkan kasus.
2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait.
Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit banyak tentang kualifikasi dan bidang keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan tugasnya, seperti penguasaan akan konsep peran dokter spesialis forensik, cara otopsi, dsb.
3. Pengetahuan tentang hukum.Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan tentang aspek legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak berhubungan dengan para petugas penegak hukum, dokter forensik dan juga pengadilan. Dalam hal kasus kriminal ia juga harus paham mengenai tata cara penanganan benda bukti yang merupakan hal yang amat menentukan untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di pengadilan
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb :
1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum.
Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi forensik adalah latar belakang kedokteran gigi umum yang luas, meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai seorang dokter gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi spesialis untuk membantunya memecahkan kasus.
2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait.
Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit banyak tentang kualifikasi dan bidang keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan tugasnya, seperti penguasaan akan konsep peran dokter spesialis forensik, cara otopsi, dsb.
3. Pengetahuan tentang hukum.Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan tentang aspek legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak berhubungan dengan para petugas penegak hukum, dokter forensik dan juga pengadilan. Dalam hal kasus kriminal ia juga harus paham mengenai tata cara penanganan benda bukti yang merupakan hal yang amat menentukan untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di pengadilan
RUANG
LINGKUP DRG FORENSIK
Ruang lingkup
odontologi forensik sangat luas meliputi semua bidang keahlian kedokteran gigi.
Secara garis besar odontologi forensik membahas beberapa topik sbb:
1. Identifikasi benda bukti manusia.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Penentuan jenis kelamin dari gigi.
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Penentuan etnik dari gigi.
6. Analisis jejas gigit (bite marks).
7. Peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal.
8. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.
1. Identifikasi benda bukti manusia.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Penentuan jenis kelamin dari gigi.
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Penentuan etnik dari gigi.
6. Analisis jejas gigit (bite marks).
7. Peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal.
8. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.
IDENTIFIKASI FORENSIK
Pada prinsipnya
identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik hidup ataupun
mati, yang dilakukan melalui pembandingan berbagai data dari individu yang
diperiksa dengan data dari orang yang disangka sebagai individu tersebut.
Sebagai prinsip umum dapat dikatakan bahwa :
1. Pada identifikasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.
Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode pemeriksaan perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi.
Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Kita mengenal ada 9 macam metode identifikasi yaitu :
1. Visual:
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh.
2. Perhiasan :
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang khas dsb.
3. Pakaian: Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen :
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis :
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dsb.
6. Odontologi forensik:
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik :
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari :
Telah lama diketahui bahwa sidikjari setiap orang didunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidikjari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi :
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dsb), maka jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
1. Pada identifikasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.
Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode pemeriksaan perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi.
Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Kita mengenal ada 9 macam metode identifikasi yaitu :
1. Visual:
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh.
2. Perhiasan :
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang khas dsb.
3. Pakaian: Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen :
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis :
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dsb.
6. Odontologi forensik:
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik :
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari :
Telah lama diketahui bahwa sidikjari setiap orang didunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidikjari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi :
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dsb), maka jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar